MEEPAGO.COM-Ekonomi Provinsi Papua Tengah tercatat mengalami kontraksi sebesar 25,53% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal I 2025. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan tajam ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan positif sebesar 28,27% pada periode yang sama tahun lalu.
Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh kinerja sektor pertambangan yang terkontraksi hingga 32,82%. BPS menyebut Papua Tengah sebagai provinsi dengan kontribusi negatif terbesar terhadap pertumbuhan wilayah Maluku dan Papua, yakni sebesar minus 8,19%.
“Pertambangan bijih logam mengalami kontraksi sebesar 11,83% akibat adanya pemeliharaan besar yang direncanakan di tambang tembaga dan emas di Papua Tengah,” ujar Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Selasa (6/5).
Sektor pertambangan dan penggalian memiliki kontribusi dominan terhadap struktur ekonomi Papua Tengah, yakni sebesar 73%. Sektor lainnya antara lain konstruksi (6,5%), perdagangan (4,57%), pertanian, kehutanan, dan perikanan (4,45%), administrasi pemerintahan (3,32%), serta sektor lainnya (7,76%).
Meski sektor pertambangan terkontraksi, BPS mencatat seluruh lapangan usaha lainnya masih mencatatkan pertumbuhan positif pada kuartal I 2025. Namun, kontraksi dalam pertambangan bijih dan logam menjadikan sektor pertambangan sebagai satu-satunya sektor yang mencatat pertumbuhan negatif, yakni minus 1,23%. Sebagai perbandingan, sektor ini tumbuh 9,23% pada kuartal I 2024.
Penurunan kinerja sektor tambang juga disebabkan oleh kontraksi pada pertambangan batu bara dan lignit yang mencapai 0,91%, dipicu oleh melemahnya permintaan global.
Kinerja Freeport Berimbas pada Ekonomi Papua Tengah
Kontraksi ekonomi Papua Tengah tak lepas dari penurunan aktivitas PT Freeport Indonesia. Perusahaan tambang tembaga dan emas ini tercatat tidak dapat mengekspor konsentrat tembaga sejak awal tahun hingga pertengahan Maret 2025.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas pada Februari lalu menyampaikan bahwa hanya sekitar 40% konsentrat tembaga yang dapat diolah saat itu. Hal ini disebabkan oleh kebakaran di fasilitas pemurnian milik PT Smelting di kawasan JIIPE, Gresik, Jawa Timur.
Sisanya, sebanyak 1,5 juta ton konsentrat, tidak dapat diproses dan menjadi idle. Akibatnya, potensi penerimaan negara diperkirakan berkurang hingga US$ 4 miliar atau sekitar Rp 65 triliun.
“Dengan harga sekarang, nilai itu terdiri dari dividen US$ 1,7 miliar (Rp 28 triliun), pajak US$ 1,6 miliar (Rp 26 triliun), bea keluar ekspor US$ 0,4 miliar (Rp 6,5 triliun), dan royalti US$ 0,3 miliar (Rp 4,5 triliun),” jelas Tony dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (19/2).
Selain berdampak pada penerimaan negara, penurunan ekspor dan pengolahan juga menyebabkan penurunan pendapatan daerah Papua Tengah yang diperkirakan mencapai Rp 5,6 triliun pada 2025.(***)