Pesawat Pengangkut BBM tiba di Deiyai, Wakeitei Papua tengah. / foto : istimewa

Menanti Bahan Bakar dari Langit: Kisah Kesulitan Energi di Papua Tengah

MEEPAGO.COM-Di Deiyai, Papua Tengah, suara baling-baling pesawat yang menderu di atas langit bukan sekadar tanda kedatangan transportasi udara biasa. Bagi warga, bunyi itu adalah pertanda kehidupan. Pesawat kecil yang mendarat membawa muatan paling berharga: bahan bakar minyak (BBM).

Di daerah pegunungan Papua, energi adalah barang mewah. Jalan darat yang semestinya menjadi urat nadi distribusi kerap terputus akibat longsor, hujan, atau kondisi alam lain yang tak menentu. Begitu akses terhambat, harga BBM melonjak tajam. Di pasar, satu liter bensin bisa menyentuh angka ratusan ribu rupiah.

“Kalau tidak ada bensin, kami tidak bisa jalan. Lampu mati, sekolah terganggu, rumah sakit pun kewalahan,” ujar Yosias, seorang warga di Waghete, dengan nada getir.

BBM di Papua Tengah tidak hanya soal kendaraan. Ia adalah penopang hidup: untuk menyalakan genset di puskesmas, menggerakkan perahu motor yang menghubungkan kampung-kampung, hingga memberi cahaya di rumah-rumah sederhana. Ketika pasokan terputus, aktivitas lumpuh. Anak-anak belajar dalam kegelapan, pasien rawat inap berdoa agar listrik darurat tak padam, dan warga terpaksa berjalan kaki berjam-jam ke distrik lain demi mencari setetes bensin.

Kondisi ini menciptakan ironi yang menyayat hati. Di tanah yang kaya sumber daya alam, masyarakat justru masih harus menggantungkan hidup pada pesawat kecil yang datang dari kota besar. Setiap kedatangan pesawat pengangkut BBM adalah perayaan kecil, sekaligus pengingat betapa rentannya kehidupan mereka terhadap akses energi.

Bagi warga Papua Tengah, energi bukan hanya soal pembangunan. Ia adalah hak dasar yang belum sepenuhnya mereka rasakan. Selama jalan darat tak kunjung diperbaiki dan sistem distribusi tak merata, suara baling-baling pesawat tetap menjadi satu-satunya harapan yang mereka tunggu di langit timur Indonesia.(**)